Liburan di Pangandaran: Green Canyon (bag.1)

Saya sudah pernah melenggang santai di tepi pantai, berjalan mundur di gua berlumpur pun pernah saya lakoni. Kali ini saya mencoba melenggang santai di pinggir sungai, sekaligus mencebur di bawah air mancur.

 Tujuan liburan saya di awal Januari lalu adalah Green Canyon, sebuah lembah hijau yang terletak di Ciamis, Jawa Barat. Perjalanan dimulai pukul 22.00 tanggal 8 Januari. Waktu tempuh perjalanan yang saya butuhkan untuk mencapai daerah berjarak 393 km dari Jakarta itu ialah 9,5 jam. Sayang sekali pagi itu kami tidak bisa menikmati matahari terbit di Green Canyon, karena waktu tempuh yang molor lebih dari 3 jam dari perkiraan.

Sesampainya di Green Canyon, kami langsung menurunkan barang-barang bawaan ke sebuah rumah penduduk. Rumah tersebut memang kami sewa satu malam seharga Rp. 300.000, untuk menampung saya dan 17 orang teman lainnya. Sesaat setelah barang bawaan diturunkan, kami bergegas sarapan pagi di warung yang dekat dengan rumah tempat kami tinggal. Sarapan paginya cukup cepat, karena semua tampak tak sabar untuk memulai petualangan di Green Canyon.  

Petualangan dimulai  

Seharusnya petualangan kami dimulai ketika kami sampai di sungai Cijulang, namun nyatanya petualangan sudah dimulai saat perjalanan dari rumah menuju Sungai. Untuk mencapai sungai, kami menempuh jarak 3 km menggunakan truk. Jalan yang kami lewati hanya selebar badan mobil, dengan medan terjal, berliku dan didampingi oleh hutan serta jurang.

Muka tegang di pinggir Jurang (pict by Ubay & Satrio)

Perjalanan mendebarkan itu seolah menjadi “pemanasan” sebelum olahraga di sungai di mulai. Tapi, di tengah perjalanan itu kami selalu menyempatkan untuk mengabadikan momen. Aba-aba ajaib “satu..dua..tiga..” bisa membuat kami yang bermuka tegang menjadi cerah ceria seketika. Sampai-sampai ada yang mengatakan “Kayaknya instruktur ga perlu peluit deh buat ngumpulin kita, Cuma perlu nyebut satu.. dua.. tiga… pasti semua pada ngumpul,”.

 

  Tiga puluh menit berlalu, truk berhenti di ujung jalan yang buntu. Satu persatu dari kami mulai menuruni truk. “Kita jalan 300 meter lagi ya..” begitu ucapan salah satu dari empat orang instruktur kami. Tak ayal lagi, kami mulai menyusuri jalan setapak yang ditunjukkan oleh sang instruktur. Sebagian dari kami menyebutkan bahwa perjalanan ini adalah “pemanasan” yang kedua. Keringat memang membanjir saat melakukan perjalanan ini. Jalan yang ditempuh benar-benar jalan setapak, didampingi tebing di sebelah kiri dan tumbuhan liar di kanan. Tanah yang kami pijak sangat basah, mungkin sisa hujan semalam. Untungnya, di sebelah kanan kami ada selusur kayu yang bisa dijadikan pegangan, sehingga kami tidak terpeleset meskipun jalanan sungguh licin. 

Masih cerah meski kaki mulai me-merah (pict by Riky)

 Menyusuri Sungai Cijulang

 Jalan setapak yang kami lalui berujung pada sebuah gua yang disebut Gua Bau. Sebenarnya gua ini bernama Gua Nagaraja, namun karena memang gua tersebut berbau kotoran kelelawar maka lebih dikenal sebagai Gua Bau. Di depan Gua ini terhampar aliran air Sungai Cijulang yang tenang berwarna hijau bersih, seakan membelah tebing yang berdiri kokoh.

Starting point, di depan Gua Bauh (pict by Didi & Riky)

Melihat pemandangan itu membuat bersemangat untuk menikmati arus sungai. Beberapa dari kami berinisiatif untuk terjun dari bebatuan di pinggir sungai. Tapi, saya dan beberapa teman wanita lainnya lebih memilih bebatuan yang landai dan menceburkan diri perlahan sambil beradaptasi dengan kedalaman sungai. Di saat itu, lagi-lagi kata “satu.. dua.. tiga..” menunjukkan keajaibannya. Begitu kata-kata tersebut membahana, kami berkumpul dan mulai mengabadikan momen. Selanjutnya, karena iri melihat teman yang sudah punya potret sambil berenang, mulailah satu persatu kami menghanyutkan diri ke arus sungai. Tentunya, demi mendapatkan potret diri yang seolah-olah menunjukkan kami sudah pandai berenang di tengah sungai yang besar. 

Di awal-awal body rafting, kami sudah bisa menikmati keindahan alam sekeliling. Berbekal pelampung di badan, cukuplah kami diam terlentang dan arus air membawa kami berenang menyusuri sungai. Di kanan kiri terbentang tebing-tebing tinggi, dengan lumut dan berbagai tumbuhan rambat yang melapisinya. Meskipun hanya tebing yang kami lalui, tapi pemandangan sama sekali tidak membosankan. Karena setiap inchi dari tebing memiliki keunikan masing-masing. Cahaya matahari pukul 11 siang menembus pohon-pohon yang ada di atas tebing dan berjatuhan di air, membuat sungai terlihat berkilau.

Tetep narsis meski gerimis (pict by Aan)

Tak sekali kami harus berhenti berenang dan menepi di sebuah karang. Terkadang ada aliran air yang terlalu deras sehingga berbahaya jika kami mengikuti arusnya. Jika sudah begini, kami harus berjalan menyusuri batu karang di tepian sungai sampai mencari arus yang lebih tenang. Di lain waktu, tantangannya bukan berupa aliran yang deras, tapi berupa batu karang yang tinggi dan besar seolah tak memberi kami ruang untuk melewatinya. Mau tak mau kami harus mendaki batu karang tersebut lalu terjun dari batu setinggi sekitar 3 meter.

Karena tak ada pilihan lain untuk melanjutkan perjalanan, satu persatu dari kami mulai mengusir rasa takut agar berani melompat. Menyebut nama Allah dan meminta perlindungan padaNya saat mulai melompat seolah menjadi sesuatu yang wajib. Adegan melompat itu tak hanya sekali dua kali harus kami lakukan, karena memang struktur tanah sungai yang membuat jadi demikian. Untungnya, semua dari kami mampu melewatinya.

Tak pantang untuk berjuang (pict by Aan)

Tak pantang tuk berjuang (pict by Aan)

Setelah menempuh 2 jam perjalanan, tiba-tiba mulai mengucur air dari langit. Tampaknya, alam menginginkan kami menerima pengalaman yang lebih dari sekedar berenang di sungai berbatu karang. Air yang awalnya turun sedikit sedikit, lama kelamaan mulai mengalir deras. Mengikuti kecepatan air turun dari langit, air sungai pun semakin deras, membuat kami terbawa arus semakin cepat. Para instruktur mulai mengarahkan kami ke tepian sungai yang bisa didaki, agar kami bisa berteduh sejenak dan menunggu hujan sedikit reda. Namun apa daya, hujan tak kunjung berhenti. Pohon-pohon di dekat kami pun tak mampu melindungi dari hujan. Akhirnya, para istruktur pun memandu kami untuk menelusuri bebatuan di tepian.

Ada kalanya tepian sungai tidak memiliki badan yang berbatu, sehingga mau tak mau kami harus berenang di bawah hujan yang sangat deras. Aliran air ditambah cuaca dingin membuat sebagian dari kami merasakan kram di bagian jari kaki bagian tengah dan telunjuk. Tapi, berkat bantuan instruktur, kram itu bisa disembuhkan.

Kram (pict by Aan)

Sebelum mencapai Green Canyon, kami bertemu dengan batu karang yang cukup menantang. Kami harus menaiki bebatuan kecil-kecil, lalu melewati celah dua batu karang besar, kemudian mendaki batu-batu besar lainnya. Ada kalanya saya berada di celah sempit antara pinggiran tebing dan batu besar. Saat itu kelelahan membuat saya ingin menyandarkan diri di pinggiran tebing, namun baru sedikit menyentuh permukaan, tangan saya seperti disengat aliran listrik. Mungkin saja hujan ditambah halilintar yang menyambar memunculkan listrik tersebut.

Bagian tersebut memang bebatuan yang paling menantang. Kami harus berjalan hati-hati merapat ke tebing, lalu tak lama harus menceburkan diri karena tak ada celah lain untuk didaki. Menjatuhkan diri di bagian sini bagi kami sangat butuh keberanian. Awalnya hanya saya, Nanche, Riky dan Satrio yang berenang duluan. Aliran sungai menyeret kami tanpa memberi ruang untuk mempertahankan diri. Hanya sejengkal dari atas kepala adalah bebatuan. Mau tak mau hanya pasrah. Teriakan demi teriakan mengiringi kami ke pusaran air yang lebih kencang, dan lagi-lagi berujung pada celah sempit antara bebatuan dan tebing.

“Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan”, Potongan QS Insyirah itu benar-benar terbukti di momen itu. Siapa sangka, dibalik bebatuan itu ada air yang mengalir sangat tenang. Sepertinya kami diizinkan beristirahat sejak, dengan bonus keindahan yang sungguh sangat luar biasa. Ada beberapa air terjun yang mengalir sangat-sangat indah. Air hujan membuat air yang jatuh tampak sangat halus, bagai kumpulan benang putih tipis yang diulurkan dari langit. Warna dedaunan memantulkan warna hijau yang eksotis ke air sungai. Pemandangan yang sangat menakjubkan, aliran air yang membelai lembut, dan suara yang entah mengapa terasa sunyi dan menenangkan. “Subhanallah,, keren banget,, Subhanallah,, bagus banget,,” hanya itulah ucapan-ucapan yang bisa terlontar dari mulut kami. Segala kelelahan selama lima jam body rafting itu, hilang seketika dengan suguhan itu.

Sampai di Cukang Taneuh

 Arus air memang tak bisa lagi kami lawan, ia menggiring kami sampai di tujuan akhir kami, yaitu Cukang Tauneh. Cukang Taneuh artinya jembatan tanah. Sesuai namanya, di hadapan kami memang terhampar gua yang dipayungi oleh jembatan tanah. Awalnya kami tak sadar bahwa itulah tujuan akhir kami, namun melihat ada beberapa perahu yang merapat sambil membawa turis dari arah berlawanan membuat kami bertanya-tanya. “Inilah yang namanya Green Canyon, atau Cukang Taneuh. Green Canyon itu dikasih nama oleh orang Perancis, kalo nggak salah tahun 1990”, begitu penjelasan dari sang instruktur.

 

Tak lama kami di Green Canyon, karena selain sudah mulai kedinginan, di sana sepertinya kalah menakjubkan dari pengalaman body rafting. Akhirnya kami memutuskan untuk segera kembali. Tapi sepertinya para instruktur tak membiarkan kami menyelesaikan tantangan di sana. Kami masih dipaksa untuk berenang ke dermaga, karena memang perahu tidak di bawa ke mulut gua. Teriakan protes mulai menggema, tapi memang tidak ada pilihan lain, kami harus berenang. Alhasil para instruktur yang kerepotan, karena kami (terutama para wanita) memaksa mereka “menarik” tubuh kami sembari mereka berenang. Jarak 500 m untuk mencapai dermaga rasanya sangat jauh sekali, karena badan memang sudah lelah. Tapi, karena judulnya senang-senang tetap saja kami tertawa-tawa sambil merelakan badan diseret-seret oleh para instruktur. Kita sih senang-senang saja, yang nggak senang paling mereka. Hehe..

Di dermaga, menunggu perahu membawa pulang (pict by Adam)

Sesampai dermaga kami sudah dijemput oleh perahu untuk membawa kami kembali ke “daratan”.

Sedikit Penutup Petualangan

Datang ke Pangandaran untuk menikmati Green Canyon, rasanya rugi kalau tidak body rafting. Meskipun memar dan pegal tidak bisa dihindari, tapi seratus ribu yang dikeluarkan terasa sangat murah dibanding pengalamanluar biasa yang didapat. Tapi, kalau memang kesehatan tidak memungkinkan, ada alternatif lain untuk sampai di Green Canyon tanpa harus basah, yaitu menggunakan sebuah perahu dengan biaya 75.000 untuk 5 orang.

Sedikit tips untuk body rafting, yaitu pilihlah baju berlengan panjang dan celana panjang. Ini untuk menghindari luka kecil karena bergesekan dengan bebatuan yang cenderung tajam. Selain itu pilih alas kaki yang tepat. Jangan sekali-kali menggunakan sandal jepit karet, apalagi yang sudah sering dipakai.  Karena sandal jepit seperti itu tidak melindungi kaki, tapi membuat kita terpeleset. Pilih sendal gunung atau kalau bisa sandal karet empuk (seperti bahan Crocs) yang ada penahan belakangnya. Sandal model ini membantu menjaga kaki, dan dijamin tidak akan terlepas saat mulai mendaki bebatuan.

Ohya, postingan ini baru separuh dari seluruh cerita liburan di Pangandaran. Jadi, tunggu bagian lainnya ya..

***

*Ps: Thanks untuk Ubay, Aan, Satrio, Riky dan Adam buat pinjeman foto2nya ya.

22 thoughts on “Liburan di Pangandaran: Green Canyon (bag.1)

  1. @arman,, iya emang kudu kerjasama. medannya emang lumayan sulit, buat pemula kayak kami 😀

    @wempi..bangeett,, udah pernah ke sana?

    @benx,, iya ben, supaya situ rajin maen ke sini 😀

  2. @muslim,, iya ntar ditemenin.. lagian anak2 ti ga bakal kekurangan tempat jalan2 dah 😀

    @ batari.. bener bat.. tapi emang sedanya tempatnya. tapi setelah capek2 body rafting, ga masalah tuh harus sempit2an 😉

    @Nanche,, ho oh,, seru. Jadi, next trip nya kmana kita?

    @Nike.. alaya nya mulai diajarin aja ke 😀

    @hadidot.. harus maen kesana!

    @yos.. maklum aquarius.. 😉

    @suzan,, iya, ajakin kesana aja, seru banget

  3. @Riki,, yang yahut itu kek apa? ntar gw sampein 😀

    @Zulhaq..hahha, keluar dari hutan donk.. 😉

    @trendy,, iya, mau. boleh donk pinjem..

    @annosmile.. lebih enak pas kemarau, air nya lebih tenang

    @Mbak ira.. ayo mbak, jangan takut. Seru loh 🙂

    @oyen.. salam kenal juga Mbak Oyen

    @elia.. bener ya?!

    @tehaha.. emang tempat wajib kunjung nih!

Leave a reply to inandatiaka Cancel reply