Perahu Waktu

Memang ada waktunya kita merapat di bibir pantai. Tapi, tak selamanya kita harus ada di sini kan? Tempat ini memang satu dari lima pantai terindah di dunia, tapi toh kita tak akan tahu bahwa itu indah sampai ada perbandingannya. Makanya, aku memilih untuk berlayar melihat pantai yang lain

Jarum-jarum di jam dinding saat ini menunjukkan angka tujuh dan dua belas. Angka yang sama yang kulihat dua belas jam lalu. Angka yang selalu memperingatkanku bahwa akan ada kedip pada ponsel yang setia menemaniku kemana-mana.

“Sudah makan belum?” itu selalu ucapan pertama yang didengar setelah aku mengangkat ponsel yang berkedip. Suatu kali aku pernah protes,”Kenapa sih ucapan pertamamu selalu itu? Pake halo dulu kek.. atau ganti pertanyaan yang lain gitu.. Nanya lagi apa juga nggak apa-apa. Nanya kok sudah makan apa belum.. Ya kalo laper aku pasti makan!”.  Lelaki di seberang sana menjawab,”Kamu itu gampang lupa. Meskipun laper, aku juga nggak jamin kamu langsung makan. Tiga kali diboyong ke rumah sakit karena maag-mu akut sudah cukup jadi peringatan bagiku. Dan sayangnya kamu suka lupa alert macam itu. Yasudah, selama masih bisa, aku yang ngingetin kamu deh”, dan ya.. jawaban itu sukses membuatku tak pernah protes lagi mengapa dia tak pernah mengubah pertanyaan itu.

Ini hari ke sebelas sejak ponsel itu tak pernah berkedip lagi, di saat jarum jam menunjuk pukul tujuh dan dua belas. Hari ke sepuluh sejak aku menyadari mulai kehilangan kedip-kedip di waktu yang itu. Hari ke sembilan sejak aku merasa frustasi dengan ketiadaan kedip-kedip di ponselku. Hari ke delapan sejak aku mencari-cari alasan bagaimana ponsel itu tetap berkedip.

Namun alasan itu belum kutemukan juga. Ponsel ini masih belum kembali berkedip.

Dua puluh empat menit kemudian ponselku berkedip. Harapanku sudah pupus bahwa alasan ponsel itu berkedip karena panggilan dari Bara. Kuperhatikan layarnya, memang bukan dia. Zen. Begitulah nama yang tertera di ponsel.

“Woooyyy…”, itu teriakan pertama yang kudengar setelah aku mengucapkan halo.

“Duh, apaan sih teriak-teriak” protesku.

“Aku punya berita” suara Zen terdengar sumringah,”berita bagus” katanya lagi. Terdengar sekali bahwa dia sengaja memotong-motong kalimat untuk membuatku penasaran.

“Iya apaa…” kataku pura-pura malas. Sengaja, supaya tidak terlihat terlalu terpancing.

“Ahh.. nggak asik jawabannya” katanya balik protes.

“Oke Zen.. jadi apa? Cepet bilang dong, aku jadi nggak sabar nih” kataku dengan nada yag dibuat seantusias mungkin.

Zen tergelak, lalu melanjutkan ucapannya,”Aku melamar Zizi…” lalu ada jeda sesaaat,”dan dia menerimaku!”suaranya tidak bisa menutupi kegembiraannya yang bertubi.

Aku tak tahu reaksi apa yang harus kutunjukkan. Zen, sahabat yang sudah kukenal sejak lima tahun lalu itu akhirnya melamar seseorang. Seharusnya aku bahagia mendengarnya, karena  salah satu sahabat yang kusayangi itu akhirnya menemui tambatan hatinya. Ini berarti tak ada lagi malam-malam gundah saat dia meneleponku hanya ingin memperdengarkan lagu baru ciptaannya, di kala dia sedang sedih. Seharusnya aku bahagia, karena melodi yang akan diperdengarkan dari dentingan piano atau petikan gitarnya akan berubah menjadi melodi yang bahagia.

“Phy..”suaranya memanggilku, kegembiraannya yang meluap tak mampu menangkap sinyal kebingunganku,”Akhirnya aku jadi Z couple juga nih..”

Zen memang senang dengan huruf Z, huruf awal namanya. Dia percaya suatu saat dia akan sangat bahagia jika dia menemukan wanita dengan inisial yang sama. Dia memang telah menemukannya. Tapi, aku masih bingung. Saat pertama kali Zen menceritakan soal Zizi, aku hanya mengira wanita yang memiliki beda usia dua belas tahun itu hanyalah akan menjadi cerita sesaat bagi Zen. Nyatanya tidak. Zen melewati hari-hari menyenangkan dengan Zizi, itu yang selalu diceritakan padaku. Zen terpengaruh positif, lebih bahagia dan lebih banyak berkarya. Dan ya, akhirnya Zen berani mengambil keputusan itu juga.

“Zen..” kataku pelan, tidak ingin merusak kebahagiaannya “selamat ya..” aku tersendat saat ingin mengucap kalimat selanjutnya,”tapi.. kamu yakin dengan apa yang kamu lakukan? Maksudku..”

“Ya, aku yakin” ucapnya tegas memotong ucapanku “seperti yang sering dan selalu aku katakan Phy, aku nggak masalah mendobrak pakem itu. Toh tak ada yang benar-benar menjadi pakem.  Maksudku, adakah aturan baku yang bilang kalau tak boleh menikah dengan wanita yang jauh lebih tua?”

“Tapi kan dia..”

“Enggak Phy, yang nggak bilang boleh kan kita-kita juga. Kalau ada kata nggak boleh, kenapa nggak boleh ada kata boleh? Ini semuanya tentang mindset..” Zen menjelaskan sabar.

“Hmm..”, aku masih bingung, “kamu sudah bilang ke orang tuamu?” akhirnya meluncur juga pertanyaan yang sudah kutahan sejak lama. Tentang restu orang tua, yang selama ini kuyakini akan menjadi jalan kemudahan bagi setiap yang aku kerjakan.

“Sayang..” Zen memperhalus suaranya, “kita itu manusia dewasa, yang bisa memilih jalan hidup kita masing-masing. Selama kita yakin dengan apa yang kita lakukan itu benar, dan kita punya alasan kuat buat itu, seharusnya kita bisa melakukan semua yang kita inginkan” katanya menjelaskan, ”.. dan soal restu, seperti kubilang tadi, karena aku yakin, aku akan menjelaskan pada orang tua semuanya. Aku yakin, dengan keyakinanku mereka akan kubuat yakin untuk merestuiku. There will be no problem. Kamu do’akan saja bahwa proses meyakinkan orangtuaku akan jadi lebih mudah. Oke?” katanya tegas.

“Baiklah, aku akan do’akan,” Ada rasa bahagia saat mendengar keyakinan Zen. Sebersit rasa iri menghinggapi aku. Mengapa aku tidak bisa seyakin itu? Apakah aku belum menjadi manusia dewasa? Tapi, segera kutepis semua pertanyaan-pertanyaan itu.

“Jadi.. kapan kamu mau makan malam dengan The Z Couple” tanya Zen riang.

“Hahha.. aku punya waktu sabtu nanti. Tapi aku tak mau tempat yang biasa-biasa ya, di hotel mewah” ucapku antusias.

“Huahahaha.. kamu ini, mau buat aku bangkrut sebelum hari pernikahanku ya?” Zen tertawa, “jangan ya sayangku, kita makan di McD aja, Rona dan Doma masih kecil-kecil. Mereka sukanya main perosotan di sana”

Tampak sekali kedewasaan Zen saat mengatakan itu. Rona dan Doma adalah anak-anak Zizi dari pernikahan sebelumnya. Tak hanya menerima Zizi yang notabene berusia jauh di atasnya, Zen berani menerima Rona dan Doma yang lebih pantas menjadi adiknya ketimbang jadi anaknya itu.

“Iya iya.. hatur aja deh. Aku seneng deh kamu mau nikah. Berarti aku bentar lagi ada eksperimen baru, foto prewed kamu” 

“Ogah ah, aku jadi eksperimen kamu. Megang kamera aja kayak masih orok, mosok nanti foto-fotomu tak pajang di nikahan aku” katanya menolak.

“Ahh.. Zen..” ucapku kecewa.

Zen terkekeh “Haha.. iya iya.. boleh dong kamu yang motoin aku. Lumayan, ndak keluar duit. Malah aku dibayar tho? Kan aku yang jadi eksperimen..” ucapnya,” lagian kamu ndak sendirian kan, aku percayalah sama Bara, dia ndak bakal juga ngasih foto jelek ke aku”

Ucapan Zen seperti memukul gong di hatiku. Bara. Nama itu disebut-sebut lagi. Bukan muncul dari hatiku, tapi dari mulut sahabatku sendiri.

“Umm.. Zen, nanti ketemu sabtu ya. Aku kebelet nih, udah dulu yaaa.. daahhh” ucapku memutuskan percakapan itu. Untungnya itu Zen, dia sudah terbiasa dengan aku yang bisa tiba-tiba saja menutup percakapan tanpa persetujuan lawan bicara.

Selepas percakapan dengan Zen, ada rasa sedih yang menjalar di tubuhku. Ingin rasanya melempar ponsel yang kupegang, agar tak perlu lagi berhubungan dengan dunia luar. Juga tak punya alasan lagi menunggu kedip-kedip di waktu-waktu tertentu.

Aku memutuskan untuk tak membiarkan rasa sedih itu berlarut. Berselancar di dunia maya bisa menjadi pilihan untuk menghabiskan waktu.

Seperti biasa, aku memulai pengarunganku di dunia maya dengan membuka e-mail. Membuka folder-folder berisi milis memang menyenangkan. Banyak forward-an cerita lucu yang menghiburku. Satu folder sudah habis kubaca. Saat melangkah ke folder selanjutnya, ada notifikasi unread message  di folder berjudul “Bara”. Ada rasa yang tak bisa kugambarkan melihatnya. Senang, penasaran, sedih dan takut seakan bercampur. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya kuberanikan diri membuka folder itu.

Satu pesan.

From: Bara [mailto:bara@email.com]

Sent: Wednesday, Dec 23, 2009 7:03 PM

To: Principilla

Subject: Phi for Phy

Kuperhatikan kepala email itu, meyakinkan diriku bahwa benar dia yang mengirimkannya. Waktunya berbeda tiga menit dari biasanya.

E-mail itu diawali dengan gambar perahu-perahu nelayan di pinggir pantai yang sangat indah. Di bawahnya tertulis pesan singkat.

Ini Phi-Phi island. One of the place I want to go before I die. Aku berhasil menjejak.

 I used to go with you. Memasangkan kamu dengan nama pulau ini. Sayangnya, waktu tidak mengijinkan.

Tapi, tetap aku bahagia.

Dengan kondisiku sekarang, seharusnya aku menangis. Tapi, entah mengapa aku tersenyum. Tak hanya kalimat terakhir Bara yang buatku lega, kapal-kapal yang tertambat di pinggiran pantai itu seolah menyampaikan pesan “Hei.. memang ada waktunya kita merapat di bibir pantai. Tapi, tak selamanya kita harus ada di sini kan? Tempat ini memang satu dari lima pantai terindah di dunia, tapi toh kita tak akan tahu bahwa itu indah sampai ada perbandingannya. Makanya, aku memilih untuk berlayar melihat pantai yang lain”

Kubiarkan kamu berlayar, wahai perahu. Biar waktu nantinya yang memutuskan, kembali atau tidak. Dan aku akan belajar untuk melepaskan.

Selesai email itu kubaca, kuputuskan untuk menyelesaikan pengarunganku. Mematikan laptop, mengambil ponsel, memencet beberapa tombol..

“Hei.. lagi apa?”

Aku memulai percakapan yang lebih nyata.

***

Picture taken by Riky Kurniawan

17 thoughts on “Perahu Waktu

  1. kakak, tolong bantuin sebarin tulisan yang “pekat darah ini” ya,,
    saya sudah lama mencari papa, tapi tak ada perkembangan…

    btw, saya harus milih apa ya, agar icon sya keluar,,
    wavatar, identicon, dll..ituu,,

  2. @batari.. dan sampe skrg aku belum pernah baca novel itu :d

    @Adam.. tengkyu ^^

    @didot.. kayak kata adam, beda kok 😉

    @inotzen.. makasihhh. salam kenal jugah

    @yasmin.. haha, enggak kok. ihh.. makasih ya 🙂

    @mona.. akhirnyaaaa si restu bilang gitu =))

  3. titipan restu:

    “Sebagai pembaca fiksi sejati, kenapa suka ada dua cerita yg menurut gw gak nyambung, gak tau deh apa gwnya yg gak nyambung. Jadi, antara prolog, cerita di tengah ama kesimpulan, kagak nyambung.. Si Zen apa peranannya di hubungan Phy dan Bara, selain nyebut nama Bara.. ya tapi terserah sih, namanya juga cerita.. tapi bahasanya bagus sih, enak dibaca.. yang berikutnya yg bahagia2 dong..”

    huakhahahhaa… aku malem ini bener2 jadi sekretaris Restu.. (gak cuma ini soale)

    titipan aku:

    1. Untuk pujiannya, idem restu.. pemilihan bahasanya enak dibaca..
    2. Kritikannya, juga sama.. gak nyambung
    3. Principilla ini cowoknya ada berapa? Melow sekali dia ini.. tiap cerita cowoknya ganti
    4. Nda, ganti topik dong.. ceweknya putus mulu..

    dan barusan terjadi dialog seperti ini..

    Restu: “Emang gampang ngritik orang..”
    Mona: “Iya, sama gampangnya dengan nyalahin orang..”
    Restu: “Padahal kalo gw disuruh bikin cerita juga gak bisa..”
    Mona: “Gw baru ngebatin hal yg sama.. huakhahaha..”
    Restu: “Yaudah deh, gak jadi komen aja..”
    Mona: “Gakpapa, gw tulis aja dialog kita barusan..”
    Restu: “Tapi gw emang suka baca fiksi sih.. jadi kalo ada yg berbakat bikin fiksi tapi ceritanya gak nyambung suka gemes sendiri..”

    Kesimpulan:

    Mungkin kami berdua sudah terlalu banyak baca fiksi, jadi standar fiksi yg bagus buat aku ama Restu udah kadung terlalu banyak referensi.. huakhahahaha…

  4. hahha, bentar lagi percakapan kalian bakal kujadiin percakapan di novel 🙂

    but i reallly loovveee the comment 😉 dari hati soale 🙂

    nggak nyambung ya? hohohoo.. mau lihat cerita yg nyambung? pantengin terus pictfiction ini, ntar ngerti yg bikin nyambungnya apa 😉 *promosi*

  5. hohoho… mau dijadiin novel yaa.. judulnya Principilla (kenapa sih harus ini namanya? heran… Restu: kayak nama taneman.. apa emang nama taneman? kayak taneman kacang2an.. apa nama penyakit? kupu-kupu ya?)

    tapi nda…

    Mona: cowoknya Principilla ganti2..

    Restu: kasian amat si Phy-nya.. nangis mulu, tiap liat barang, sedih…

    huakhahahaha.. *gak penting abis..

  6. bwuahhahhaaaa…
    baiklah, selanjutnya adalah part bahagia deh..
    bahagia punya temen2 “dudul” seperti kalian.

    namanya Principilla aja, soalnya kalo Mona atau Restu, ntar dia sibuknya motoin langit kalo ga pose aneh2.. =))

    eh mon, ga ganti2, da belum dapet smpe skrg. mau nyariin? yg kayak suami si Distro deh 😉

    Restu, iya nih.. kayaknya dia phobia barang2..:p

  7. mau komen tapi ternyata udah ditulis mona. yang pertama kali kepikiran, ini si phy cowonya yang mana sih??
    huahuahua
    peluk nda lagi ah *hugs*

Leave a reply to Mona Cancel reply