Quitting Instagram Project

Assalamualaikum!

Liat post terakhir, rupanya sudah lebih dari setahun yang lalu. Lama banget nggak nge-blog. Salah satu faktor mungkin karena saya udah nggak kerja kantoran lagi. Jadi, buka laptop buat nulis-nulis udah jarang banget. Sedangkan nulis panjang di handphone kok ya males?!

Lah, tapi sekarang kok nulis blog lagi?

Bukan karena target One Post One Year ya 😀 Tapi, karena dua hari lalu saya memutuskan untuk log out dulu dari Instagram sementara, dan mau mengisi waktu dengan hal lain. Salah satunya ya nge-blog.

Jadi, sejak saya nggak ngantor (Februari 2017), si instagram ini sangat mendominasi hidup saya sehari-hari. Awalnya mungkin karena saya ikut komunitas Upload Kompakan, yang memang tiap harinya ada tema buat saya ikuti untuk mengunggah foto ke Instagram. Lumayan sebenernya mengasah skill foto saya. Tapi, dasar anak perfeksionis, saya kadang pilih-pilih foto yang saya menurut saya cukup bagus baru saya unggah. Walhasil nggak tiap hari juga saya unggah. Meski nggak tiap hari, tapi saya terlalu “rajin” buka instagram. Saya suka membuka instagram mungkin karena saya termasuk visual person. Awalnya saya cukup banyak merasa mendapat manfaat. Menambah teman, dapat info resep, inspirasi menjahit, jadwal kajian dan lainnya.

Sampai di satu titik saya menyadari bahwa waktu saya banyak sekali terbuang hanya untuk scrolling down dan melihat-lihat foto yang entah saya nggak merasa mendapat cukup banyak manfaatnya.

Sebenarnya bukan hanya Instagram yang saya log out. Facebook sudah saya deactivate sejak lama karena saya kesal sendiri baca postingan curhat dan perdebatan yang bagi saya nggak sehat. Path sudah lama tidak dibuka juga, tapi sesekali kepengen “kepo” sama postingan teman, tapi malah kadang jadi kelamaan. Saya left group Whatsapp yang saya tidak pernah berinteraksi di dalamnya. Instagram sudah pasti sangat menyita waktu.

Kadang saya punya me time 2 jam, ketika anak sekolah atau sedang main ke rumah kakeknya, dan saya habiskan 2 jam itu untuk scrolling down instagram. Ketika disadari saya mungkin sedang buka akun “teman dari sepupunya saudara jauh dari adeknya artis A” Haha! Intinya entah siapa akun yang sedang saya buka. Dari yang awalnya cari inspirasi, lalu berakhir dengan kepo yang tak berkesudahan.

Lalu saya berfikir “bagaimana kalau saya berhenti buka instagram? apa efeknya? apa manfaatnya?”, saat itu qadarullah saya bertemu dengan link ini. Saya sudah lama sekali tidak membuka TED talk, tapi entah kenapa saya tertarik dengan judul “Why I don’t use a smartphone”.

Adalah seorang remaja Kanada bernama Ann Makonsinski, di era sekarang dia tidak menggunakan smartphone. Singkatnya dia dibiasakan dari kecil untuk tidak diberi mainan, tapi membuat mainan sendiri, sehingga dia terbiasa memanfaatkan waktunya untuk mencari solusi untuk dirinya juga orang di sekitar. Kenapa tidak menggunakan smartphone? Karena bagi dia flipphone yang dia miliki sudah cukup bagi dia untuk terkoneksi dengan orang lain, dan tidak perlu terganggu dengan notifikasi ini itu dari smartphone. Satu hal yang dia sebutkan “Mengecek smartphone meski sebentar-sebentar, kalau dijumlah berapa lama waktu yang sudah dihabiskan? dan berapa banyak waktu tersebut yang bisa digunakan untuk hal lain?”. Video tersebut jadi semakin menguatkan saya untuk quit sosial media untuk sementara.

Sebenernya saat saya merefleksikan waktu penggunaan smartphone, saya jadi terpikir banyak hal. Saya harus berhenti sementara untuk menjadi “penerima” informasi yang tumpah ruah dari sosial media, dan merasa harus sedikit menuangkan pikiran saya lagi, salah satunya dengan menulis yang lebih panjang dari sekedar caption. Saya merasa harus berhenti ketika saya sadar saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk cari tahu kenapa artis A melepas kerudungnya ketimbang menghabiskan lembar demi lembar buku kisah Shahabiyah Nabi. Saya merasa harus berhenti ketika saya merasa, meskipun tidak terucap, lebih mudah menghakimi tentang orang lain dari setiap postingan yang dia buat. Saya merasa harus berhenti ketika saya mulai membandingkan diri saya dengan orang lain, entah lebih baik atau lebih buruk. Saya merasa harus berhenti ketika setiap malam sebelum tidur saya tidak merasa menghabiskan hari dengan “penuh” atau “feel content“…

Satu hal yang terbesar dan saya paling kesalkan dengan adanya sosial media (tak hanya instagram) adalah… ketika saya sudah terbang ribuan kilometer untuk bertemu orang-orang yang tak pernah bertemu berbulan-bulan lamanya, lalu ketika satu waktu bisa disatukan di meja makan untuk bersantap bersama, semua sibuk dengan smartphone nya…

Like your eyes and your hand glued to the phone. Saya sampai terdiam saat itu. Juga kesal. Mengapa smartphone seperti “mengambil” momen dalam hidup. Momen yang nyata terkalahkan dengan alasan “sharing thing with others“. Yang mungkin sedang menulis kata “haha” tanpa tertawa, ataupun menulis kalimat “sorry” sambil sibuk ngupil santai di kasur.

Akhirnya saya memutuskan untuk berhenti sementara dari sosial media yang membuat waktu saya habis dan membuat saya gelisah karena tidak bisa mengecek sebentar saja. Also say goodbye to nomophobia.

Berapa lama saya mau berhenti? rencana awal adalah 3 hari . Sekarang sudah hari kedua, dan saya mulai menikmati hidup tanpa instagram. Lebih banyak yang sudah saya dapatkan. Rencana saya mungkin bertambah menjadi 7 hari. We’ll see… Dan insya Allah akan saya post apa saja yang terjadi selama project ini berlangsung.

 

2 thoughts on “Quitting Instagram Project

Leave a comment