“Here we go” to Kawah Putih

Sabtu, 4 Desember lalu saya dengan 6 orang teman sekantor pergi ke Kawah Putih. Ini pertama kalinya saya datang ke sana. Selama perjalanan berulang kali saya ditanya “Udah sering ke sana?” dan jawabannya “belum pernah” Okelah.. setelah 4 tahun tinggal di Bandung saya baru pertama kali ke sana.

Perjalanan di mulai pukul 8 dari Jakarta, sampai bandung jam 11 dan terkena macet di daerah Kopo, Bandung. Kami baru sampai di Kawah Putih jam 2 siang. Enam jam dalam macet bukan perjalanan yang menyenangkan jika bepergian dengan teman-teman yang hanya mengeluh selama perjalanan.

Tapi, beruntungnya saya… Kami semua sangat menikmati perjalanan.  Ngobrol sana sini, mengkhayal ini itu, foto-foto, merencanakan weekend getaway selanjutnya dan end up dengan teriakan semangat “Here we Go!” walaupun mobil berjalan merayap huehehehe..

Setelah berjam-jam akhirnya kami sampai juga. Dengan tiket masuk IDR 15.000 per orang dan uang tiket masuk untuk 1 mobil IDR 150.000 kita bisa melewati gerbang masuknya (yaiyalah..). Dari gerbang masuk kita harus menempuh jalan berkelok-kelok lagi untuk sampai ke kawah.

Sampai di kawah putih hujan deras, total hanya 15 menit kami di sana. Kecewa? Enggak… Bersyukur  dapet foto ini..

Terutama foto ini, karena ada sayanya…(udah lama nggak dipotret :D). Dari ki-ka: Saya, Luhur, Leo, Ea, Yudi. Yang motretin Adel. Di foto kurang satu orang, Kang Arief, yang bersedia nungguin tas dan payung kita 😀

Dari Kawah putih, kita lanjut cari makan. Tujuannya Bandung. Awalnya mau ngopi-ngopi dulu, tapi Pak supir maunya makan steak. Ya kita nurut aja, daripada kita ditinggalin di tengah jalan hehhe.. Jadilah kita ke Suis Butcher steak yang ada di Jl Setiabudi. Steaknya enak, empuk dan harganya terjangkau. Dengan IDR 37.000 saya bisa dapat Tenderloin enak inih…

Well yeah, perjalanan ke Kawah Putih ini sangat menyenangkan. Terutama pergi dengan orang-orang yang selalu bersemangat dan nggak pernah mengeluh dengan segala badai yang menghadang di tengah jalan *apasih*.

Thanks  Leo, Luhur, Yudi, Ea, Adel, Kang Arief  🙂

“Never go on trips with anyone you do not love.”

~Ernest Hemingway

Next destination… Here We go!

 

Makanan Hati

Namanya Swiss Roll. Saya beli di Daily Bread. Ada rasa stroberi & cokelat.Teksturnya lembut, krimnya nggak bikin eneg, dan rasa manisnya pas.

Beberapa kali si swiss roll ini menemani saya kerja. Ya sambil di icip-icip, dimakan, dan nggak berasa udah abis padahal kerjaan masih banyak.

Kerjaan saya yang biasanya menyita sampai jam 7 malam, dari jam 8 pagi. Sebelas jam yang saya habiskan di kantor, untuk bekerja, ngobrol, bercanda, kecape’an, mengeluh, curhat, ketawa, makan dan banyak hal lainnya. Kadang-kadang buat saya sedikit berselisih sama mama, karena sering bilang “bentar ya mam, lagi meeting..” atau “ntar kakak telpon lagi, lagi sama bos..”,

Nyatanya… saya suka lupa untuk telpon mama lagi. Selanjutnya, mama bisa ngambek. Biasanya saya nggak ngeh kenapa mama ngambek, saya ngerasa nggak salah… Kenapa lupa telpon aja kok ya sampe ngambek?!

Tapi, akhirnya saya ngerti..

Buat apa sih sebenarnya saya menghabiskan sebagian besar waktu dan emosi saya di kantor?

Buat cari uang? iya sih..

Tapi, saya mengesampingkan faktor keluarga, orang-orang yang saya cintai.  Saya terkadang lupa  akan hal-hal kecil yang saya bisa perbuat untuk membahagiakan mereka. Sekedar sms pagi.. “Selamat pagi mama.. sudah sarapan belum?” atau nelpon mama sebentar untuk nanya “Mama cantik lagi ngapain?” Hal kecil yang nggak sekedar bikin mama happy, tapi saya juga happy. Ngerjain sesuatu jadi lebih lega kalo menjaga hubungan baik sama mama atau siapapun juga. Hatipun terasa lapang.

Saya juga kepikiran, uang yang (alhamdulillah) selama ini berhasil saya kumpulin dari menghabiskan waktu di kantor selama 11 jam tadi, sebenarnya berkah nggak sih? Sudah cukup bersih belum harta saya dengan zakat 2.5% itu? atau masih ada hak orang lain yang ada di dalamnya?

Hmm.. semoga saja waktu sebelas jam dikali 5 hari kali 52 minggu dipotong cuti itu nggak membuat saya lalai untuk bahagiain keluarga dan hasil yang didapat itu benar-benar berkah. Hingga swiss roll itu nggak cuma terasa lembut di mulut, tapi juga di hati *eh*

Bayar Rasa dengan Potongan Harga

“Huaaaa.. Hiks..” tangis saya pecah sesaat saya duduki jok mobil hitam itu.
“Heh, jangan nangis kamu,”ucap Freddy dengan logat Sundanya yang kental,” jadi mau beli coklat di mana? Di Farmers Market ada” lanjutnya.
“Ahh, gamau ah. Males jalannya, jauh. Nggak usah aja yuk. Pulang,”
“Pulang? Nggak makan, kamu? Jangan bego!” ucapnya tanpa basa-basi.

Ucapan “Jangan bego” memang ucapan pamungkas dari Freddy di kala saya mulai mengusulkan  hal-hal yang dianggapnya merugikan saya. Sudah beberapa hari saya mulai mengusulkan tidak makan malam, karena memang sedang tak berselera. Batin yang sakit, tapi raga yang memberontak. *ouch*

“Udah, makan di mana kita?” tanya Freddy setengah memaksa.
“D’cost aja yuk,”ucap saya asal.
“Kamu bawa obat?” terdengar nada khawatir, karena alergi makanan laut yang saya miliki.
“Bawa”.

Freddy membawa mobilnya lambat-lambat ke arah restoran seafood yang terkenal dengan harga miring itu. Tak berapa lama, kami sudah sampai di parkiran yang mampu menampung 20 mobil. Saya memandangi sekilas pintu masuk restoran bertema warna kuning dan oranye. Ada sekitar tujuh orang berjalan ke arah pintu tadi. Salah satu dari mereka bergerak membuka pintu, namun gagal. Pintu masih tertutup rapat. Dari kejauhan saya bisa melihat tulisan “TUTUP” yang terpampang di meja resepsionis.

“Oh masih tutup.” ucap saya sekilas tanpa perlu jawaban.

Saya dan Freddy menunggu di mobil saja. Saya bercerita apa saja yang muncul di pikiran saya saat itu. Diselingi isakan dan tak pelak ucapan “Jangan bego!”meluncur dari mulut Freddy. Sesekali saya memandangi ke arah pintu masuk restoran. Semakin banyak yang menunggu di depan pintu. Ada kesamaan yang saya perhatikan dari setiap gerombolan yang datang. Mereka datang beramai-ramai layaknya sekeluarga besar yang lengkap. Dari anak kecil, remaja, dewasa bahkan kakek dan nenek juga ikut serta.

“Gila, ini restoran prospeknya bagus. Lihat deh rame banget” Freddy berucap.

Kalimat itu memulai pembahasan kami soal prospek berbagai bisnis, cara memasarkan produk sampai dengan cara menentukan harga jual. Freddy memang dilahirkan di keluarga yang berdarah pedagang. Sedikit banyak dia tahu seluk beluk cara berbisnis.

“Kalau jualan seperti keluarga saya, harga jual itu nggak boleh fix harus flexible. Harga fix itu malah mengesankan kita sombong.” Ucapnya saat saya menanyakan alasan mengapa harus ada tawar menawar,”Kasih harga juga jangan mahal-mahal. Kamu harus pilih jenis produknya. Kalau produk yang banyak dijual di pasaran, kasih harga termurah. Ambil untung tipis aja, supaya  orang mau beli di kita”
“Lha,, kalo gitu kapan kita untungnya?” protes saya.
“Yang penting kita cari nama dan kepercayaan dulu. Semakin banyak yang beli ntar kita untung juga koq. Nah, tapi kalo mau untung gede, bisa diambil dari jualan produk yang kualitas tinggi, berbeda dan jarang di pasaran. Itu boleh kamu maenin harganya.”
“eh, udah buka tuh..”sela saya saat melihat pintu restoran mulai terbuka. Puluhan orang seperti otomatis tersedot ke dalamnya. Lalu kami pun mengikuti arus  gerombolan tersebut.

Memasuki restoran kami langsung disambut keramahan khas pelayanan jasa. Sekitar 5 orang pramusaji masih berdiri di depan pintu. Setiap gerombolan yang masuk langsung diikuti seorang pramusaji. Cukup takjub ketika melihat restoran berkapasitas 300 orang itu hampir terisi penuh dalam waktu kurang dari 10 menit sejak dibuka. Sembari menyapukan pandangan ke seluruh ruangan, saya memilih tempat duduk di sebelah kiri restoran. Saya pilih karena dekat dengan kasir, tempat cuci tangan serta dekat dengan akses menuju toilet. “Kalau mau manggil mas-masnya jadi gampang. Kalau ke toilet juga dekat”, begitu alasan saya.

Belum sempat saya duduk, saya langsung tersenyum senang saat melihat lembaran kertas yang tergeletak di meja. “Discount sesuai umur” begitu tulisan yang tertera pada kertas berlatar kuning itu. Melihat kata “Discount” saja saya sudah senang, ditambah lagi kita sendirilah yang menentukan potongan harga-nya. Betapa menyenangkan bukan? Saat itulah saya jadi paham mengapa banyak sekali gerombolan pengunjung yang datang membawa kakek dan nenek mereka 😀

Setelah kami duduk, sang pramusaji dengan ramah menanyakan pesanan. Sebelumnya kami diminta menunjukkan kartu identitas. Berhubung saya 2 tahun lebih tua dari Freddy, jadilah KTP saya yang dijadikan alat penentuan diskon.

Mengamati strategi pemasaran restoran yang memiliki moto ‘Mutu Bintang 5 – Harga Kaki 5’ ini memang menarik. Mereka mengandalkan harga murah sebagai nilai jual.  D’cost menghindari harga “pasaran”, mereka memilih harga yang lebih murah tapi pengunjung datang kembali. “Banyak restoran yang menyajikan makanan enak, tetapi harganya sama dengan restoran lainnya. Pengunjung memang datang, tetapi jarang yang balik lagi, karena mereka bisa pergi ke restoran mana pun,” begitu pendapat salah satu Manajer Operasional Pelayanan d’Cost. Saya jadi teringat perkataan Freddy yang menjadikan harga murah sebagai daya tarik pelanggan untuk kembali lagi, akhirnya saya mengamini juga ucapannya.

Selain standar harga yang lebih rendah dibandingkan restoran seafood lainnya, program potongan harga juga sering dilancarkan oleh restoran ini. Pada awal pembukaan restoran ini, mereka menawarkan promosi “Makan sepuasnya, bayar sesukanya”. Bukan seperti restoran “all you can eat”  lainnya, yang membiarkan kita makan sepuasnya namun dipatok dengan harga tertentu. Tapi, pengunjung dibebaskan memilih makanan apa saja, dan diperbolehkan membayar seikhlasnya. Bisa saja pengunjung makan makanan dengan nilai Rp 400.000 tapi membayar hanya Rp 20.000. Contoh lain promosi mereka yaitu pada akhir tahun 2008 D’Cost pernah melakukan promo “Pengantin baru boleh mengundang maksimum 300 tamu untuk makan di restoran D’Cost Seafood dan bayar setelah pengantin hamil.” Ide yang unik bukan?

Harga yang murah dengan kualitas makanan yang tidak buruk membuat D’cost selalu dipenuhi pengunjung. Beberapa komentar di dunia maya memang menyebutkan bahwa pramusaji di D’cost sangat lambat. Jumlah pengunjung yang banyak dan jumlah pramusaji terbatas tentu bisa membuat hal ini terjadi. Pengalaman saya sendiri makan di D’Cost Plaza Semanggi memang seperti itu. Pramusaji sedikit kewalahan memenuhi pesanan dari pengunjung, terutama saat itu adalah saat makan siang. Tapi, kondisi seperti ini belum pernah saya temui selama beberapa kali saya makan di D’Cost Danau Sunter. Pramusajinya cukup banyak untuk melayani pesanan, bisa dilihat selalu saja ada pramusaji yang berjaga-jaga mengamati pengunjung dan cepat menanggapi setiap permintaan. Pesanan juga diantar dengan waktu yang cenderung cepat. Paling tidak saya tidak sempat tercetus kalimat “lama banget ya,,.”

Tanggapan “Pelayanan yang lambat” ini sepertinya dicoba untuk diantisipasi oleh pihak D’Cost dengan menggunakan mobile device sebagai alat pencatatat pesanan. Saat ini D’Cost menggunakan iPod yang terhubung langsung dengan komputer di dapur dan di kasir. Ini sebagai cara untuk meningkatkan waktu pelayanan, karena pramusaji tidak perlu ke dapur dulu untuk mengantarkan daftar pesanan. Waktu pengantaran pesanan ke dapur itu bisa digunakan untuk melayani pengunjung yang lain.  Selain itu, cara ini juga mampu memperkecil kesalahan pemesanan karena kesalahan penulisan menu yang dipesan.

Tak berapa lama sejak pramusaji mencatat pesanan, makanan pun datang. Menu  favorit saya adalah cumi telur asin. Rasanya seperti.. umm.. cumi yang dibalur telur asin 😀 Jangan bayangkan rasanya akan seasin telur asin,karena yang terasa di lidah adalah buliran-buliran dari telur  yang beraromakan  telur asin. Tidak asin, tapi juga tidak manis. Pas di lidah saya. Selain cumi, saya memesan ikan gurame karena merupakan satu-satunya ikan yang “bersahabat” dengan alergi saya. Jangan tanya apa rasa gurame bakar, karena tentunya seperti rasa ikan gurame yang dibakar 😉

Selesai makan, saya minta bon pada pramusaji. Di bagian bawah bon, setelah tulisan total harga, ada keterangan berapa umur saya dan total potongan harga yang didapat. Yaiy! Ternyata hari saya berakhir menyenangkan. Meski sesenggukan sesekali, saya masih bersyukur bahwa umur saya membawa berkah. Saya juga baru mengerti kenapa orang selalu memanjatkan do’a “Semoga panjang umur”. Ya ini.. supaya dapet potongan harga yang makin besar dari D’cost 😀