Mata Langit

Pria itu tergesa-gesa melewati pintu masuk. Kedua tas di bahunya membuat pergerakannya terhambat saat melewati kursi-kursi yang mengelilingi meja saji untuk para pengunjung kafe ini. Terlihat sekali dia kelelahan dengan tambahan satu lagi beban di punggungnya, satu ransel yang tak pernah tinggal ketika bepergian.

“Duh Phy, kalo nyari tempat ketemu itu jangan yang jauh seperti ini. Aku repot” gumamnya sambil melepaskan semua tas yang menggandul di tubuhnya.

Aku tersenyum sambil memandanginya yang terlihat sibuk sendiri. “Nih, jus stroberi buat kamu”

“Hah, kan aku belum pesan? Kok kamu tahu aku lagi pengen ini?” meski terlihat bingung tapi tetap saja dia mengambil gelas yang kusodorkan, lalu meminumnya, “dasar dukun!” ucapnya di sela-sela tegukan just stroberi.

“Jadi..” aku memulai membuka pembicaraan saat kulihat Langit mulai tenang,”dari mana saja kamu, Langit?”

“Haha..” Langit tergelak mendengar pertanyaanku, aku hanya mengerutkan kening tanda tak mengerti “Principilla.. berhentilah mengintrogasiku dengan pertanyaan macam… dari mana.. lagi apa… Mulai dengan lebih cerdas Phy. Kalau tak ada yang mau dibicarakan, nikmati saja diam.”

Kerut di keningku rasanya makin bertambah. Langit tampaknya mengetahui kebingunganku. Alih-alih bertanya mengapa, dia mengambil tasnya yang tadi dia geletakkan di lantai.

“Ini buat kamu.” Dia menyerahkan amplop coklat yang kutaksir seukuran kartu pos, namun jauh lebih tebal. “… menepati janji” lanjutnya pelan.

Lambat-lambat kubuka amplop itu. Aku suka ketika Langit memberikan kejutan-kejutan kecil seperti ini. Pada pertemuan pertama, dia sudah memberiku kejutan dan sejak itulah dia berjanji akan selalu memberiku kejutan.  Seperti biasa, saat dia memberi kejutan kubiarkan jantungku berdetak lebih cepat untuk waktu yang lebih lama. Menikmati sensasinya. Tapi, toh amplop itu tak dibungkus berlapis-lapis. Sedikit robekan di lipatan yang Langit buat sudah membuka amplopnya.

“Wow!” aku terkesima dengan hadiah yang Langit berikan. Sebuah digital photo frame. “Langit…” pekikku tertahan.

“Sudah, nikmati saja foto-foto di situ.. Nggak kenyang aku makan terima kasih dari kamu” katanya sambil tersenyum sinis.

Aku hanya terkekeh mendengar ucapannya. Dia tahu aku akan berterima kasih berulang-ulang. Sedangkan dia pikir, yang namanya terima kasih hanya ucapan yang menunjukkan hubungan berjarak. Langit tak membiarkan orang-orang yang ada di dekatnya berterima kasih padanya Padahal seringkali dia melakukan tindakan yang memancing ucapan itu terlontar.

Tak berapa lama aku sudah tenggelam memandangi foto-foto yang ditampilkan di bingkai digital itu. Mulai dari langit jingga hingga berwarna biru. Semuanya langit dengan foreground pantai, matahari atau manusia. Selalu saja dia berhasil menampilkan langit sebagai fokus utama, bukan sekedar penghias dari foto-foto yang dibuatnya.

“Langit itu selalu ada dan selalu berubah-ubah sesukanya. Tapi, langit itu selalu indah. Seperti ada kekuatan magis yang membuat mataku menempel erat untuk menelusuri jengkal demi jengkalnya. Langit bisa menarik kekesalanku yang bertumpuk. Di lain waktu langit seperti membiarkanku melepaskan segala kegembiraan dan membuatku serasa terbang melayang.  Langit itu tak terbatas, sehingga kemanapun aku pergi, dia selalu ada. Meski tak kugubris, dia selalu memandangiku. Aku selalu merasa, bersama langit aku bisa jujur.. menjadi diri sendiri”

Langit itu tak terbatas, sehingga kemanapun aku pergi, dia selalu ada. Meski tak kugubris, dia selalu memandangiku.

Itulah awal perkenalanku dengan Langit. Dia bisa menjelaskan panjang lebar tentang apa yang dia ingin ceritakan pada setiap foto-foto yang dia buat. Dan ketika dia menyebutkan “Langit..” sebagai namanya, saat itu juga aku tergelak “kamu pasti bercanda..” ucapku saat itu. “Tidak, memang namaku Langit” katanya sambil menyodorkan KTP yang dia keluarkan cepat dari dompetnya. Seakan sudah siap dengan pertanyaan macam itu. “Entah mengapa aku selalu berkenalan dengan orang melalui foto-fotoku. Aku selalu bercerita soal langit sebelum benar-benar memperkenalkan namaku. Makanya kejadian ini sudah kuantisipasi” katanya saat itu dengan raut mukanya yang datar, namun tetap saja tak bisa menyembunyikan semu merah di pipinya.

Sejak itulah aku tertarik dengan langit. Ya, langit yang di atas sana dan Langit yang ada di hadapanku.

“Phy, jalan yuk. Itu frame-nya kamu simpan saja. Kalau dilihat sekarang, besok-besok kamu pasti sudah bosen liatnya. Dilihat dikit-dikit aja..” Langit menegurku yang sedang tenggelam dengan pemandangan-pemandangan yang disuguhkan bingkai digital itu.

“Ke mana?”

“Cari langit..” lalu tiba-tiba saja dia sudah berdiri dengan tas-tas nya yang sudah kembali mengganduli tubuhnya.

“Tunggu..” aku tergopoh-gopoh mengemasi barang-barangku. “aku bayar dulu” sambil berteriak aku berlari kecil menghampiri kasir. Setelah memberikan sejumlah uang, aku menyusul Langit yang sudah berjalan mendahuluiku.

Di halaman, aku melihat Langit yang sedang berjongkok di depan Lily yang tertanam rapih di pinggir jalan berbatu yang menghubungkan pagar dan pintu kafe ini.

“Ngapain kamu?” ucapku menegurnya.

“Sini deh Phy, menurut kamu ini apaan ya?”

“Umm..”aku berpikir sejenak ”sepertinya potongan biji salak” ucapku sekenanya.

“Hah? Gimana caranya biji bisa terpotong sekecil ini” katanya menyangkal “ini lebih mirip kulit salak yang tergulung, dan lebih mungkin menempel karena kulit salak kan tajem-tajem”

“Ahh, ga mungkin ahh.. sini bentar aku lihat” kuarahkan mataku sedekat mungkin ke benda yang ditunjuk Langit. Langit menggeser duduknya, memberi ruang kepadaku untuk mengamati lebih dekat.

“huahhh.. ini sih kumbang..” aku sedikit berteriak, seperti baru saja menemukan hal menakjubkan.

“Mana ada kumbang menggumpal seperti itu, ada buntut aneh lagi.” Langit lagi-lagi tidak terima “Jelas itu kulit salak,”

“Loh, kamu bilang sendiri ada buntutnya.. artinya hewan dong”

“Bukan, itu lipatan kulit lain yang menggulung, nggak menggumpal. Lagian dia nggak ada kaki begitu. Ya bukan hewan.”

“Ahh, kaki kumbangnya ada di bawah. Mana kelihatan..”

“Nah makanya, karena nggak kelihatan makanya jangan mengira-ngira. Apalagi mengadakan yang tidak ada. ”

“Ihh, lebih aneh lagi kamu, bilang itu kulit salak, lebih nggak masuk akal..”

Di tengah perdebatan kami yang seperti tak berkesudahan, tiba-tiba seseorang menegur Langit.

“Langit, lagi apa di sana?”

“Eh..” ada jeda sebelum Langit menjawab. Langit berdiri dari jongkoknya. Aku menangkap kekikukan saat dia menyadari siapa yang memanggil “Eh Sas..” hanya itu yang keluar dari mulutnya.

Gadis itu berparas ayu. Rambutnya yang legam dibiarkannya jatuh berurai di punggung. Barisan giginya rapih. Matanya yang bulat dan bercahaya membuatnya semakin menarik untuk dipandangi lama-lama. Sebersit rasa cemburu hinggap di hatiku, melihat Langit yang masih saja terkesima dengan gadis di hadapannya.

“Ngapain sambil jongkok seperti itu?”

“Lagi lihat ini,” katanya sambil menunjuk ke sembarang arah.

Gadis itu seperti tidak perduli dengan apa yang ditunjuk langit. Mata mereka seperti terkunci satu sama lain.

“Umm.. lo mau ke dalem? Silahkan loh..” tiba-tiba saja Langit meluncurkan pernyataan yang tak pernah kuduga sebelumnya. Kupikir Langit akan mengajaknya mengobrol dulu. Bertukar cerita dan mengabaikanku yang ada di sebelahnya. Tak dinyana dia memutuskan momen canggung itu sesegara mungkin.

“Lo ngapain sih?” Gadis itu seperti tak suka dia dipersilahkan pergi secepat itu.

“Gue, mau capture momen. Melihat sesuatu lebih jujur” Sambil mengatakan itu Langit menarik lenganku “Yuk, Phy..”

Aku tak mengerti maksudnya, tapi kuikuti saja dia.

“Yaudah, gue masuk dulu deh..” Gadis itu tiba-tiba melengos. Matanya yang tadi berbinar tiba-tiba berubah menjadi redup. Dia meninggalkan kami dengan langkah yang panjang dan cepat.

“Phy, bantu aku..” dia membuka tasnya, mengambil kamera yang ada di dalamnya. Memutar lensa yang masih menempel di body kamera. Aku sudah semakin terbiasa dengan momen itu. Putaran lensa itu pertanda aku harus mengganti dengan lensa lainnya yang masih ada di dalam tas. Langit membiarkan aku menggantinya.

Setelah menyimpan lensa, Langit kembali berjongkok ke posisi tadi. Dia membidikkan kameranya ke arah benda aneh yang sedari tadi kami amati. “Aku mau membiarkan kamera ini yang melihat, bukan mata kita..”

“Eh..” aku tak mengerti ucapannya, tapi kudiamkan saja dulu. Dengan kameranya, aku tahu Langit tidak akan bisa diajak berdebat. Dia berkosentrasi pada apa yang di hadapannya.

Beberapa menit berlalu. Setelah beberapa bunyi “click” yang kudengar, akhirnya Langit menurunkan kameranya. Menunjukkan hasil bidikannya padaku. Aku memandangi LCD di kameranya. Memandangi tampilan seekor serangga yang entah apa namanya. Tubuh serangga itu bulat berwarna kecoklatan dan berbuntut lebih panjang dari tubuhnya. Tebakan kami bahwa benda ini tak berkaki ternyata salah. Dia berkaki, tapi tembus pandang hingga mata kami tak mampu melihatnya.

“Inilah salah satu alasan aku selalu membawa kamera kemanapun aku pergi…”

“Kenapa?” aku memindahkan pandangan mataku dari LCD ke wajah langit.

“Seringkali mataku tak mau jujur Phy. Melihat apa yang otakku ingin lihat atau memandang yang hatiku inginkan. Aku melihat padahal sebenarnya aku buta.” Dia terdiam sebentar, memandangi lalu menimang-nimang kameranya. “Kamera ini menceritakan dengan jujur apa yang kulihat. Dia tidak memproses macam-macam. Tugasnya hanya capture moment dan selesai. Jadinya, dia bisa menunjukkan benda apa ini sebenarnya. Bukan kumbang seperti yang kamu lihat, lebih-lebih kulit salak” Langit seketika tertawa saat menyebut ‘kulit salak’. Sepertinya dia menyadari kalau tebakannya sangat tak masuk akal.

Seringkali mataku tak mau jujur. Melihat apa yang otakku ingin lihat atau memandang yang hatiku inginkan. Aku melihat, padahal sebenarnya aku buta.

Aku mengangguk-angguk saja tanda mengiyakan.

“Pasti kamu ndak ngerti” Aku meringis mendengar ucapannya. “Nih, gantian kamu yang moto. Aku capek jongkok lama-lama” Langit mengalungkan kameranya ke leherku. Lalu seperti biasa, dia berjalan cepat sesukanya. Membiarkanku tergopoh-gopoh menyusulnya.

***

Picture byAdam Arizal

11 thoughts on “Mata Langit

  1. Nda… nda..

    Budeku pernah bilang gini, long to short… intinya adalah.. dalam setiap tulisan (fiksi), kita bisa tau penulis itu hidupnya kaya apa..

    …dan.. jreng2, somehow kayaknya iya deh.. huakhahahaha..

    langit, serangga, pria berkamera, capture the moment…

    ajajaja.. itu kan bener2 ada di sekitar nda banget… huakhahhahaha…

    eniwei baswei.. kamu tiba2 ngejelasin kenapa Langit suka langitnya kenapa gitu? (cek lagi mana Langit yang L-nya harus gede, dan mana langit yang l-nya harus kecil.. aku bingung)

    so far, aku paling suka pictfiction yang ini.. sayangnya fotonya cuma serangga, kagak ada foto langitnya 😛

    *aku rambling di komennya nda..

    • Mona.. ini kan kategori Picfiction ya, kudu nyambung2in sama si picture atuh. Kan yang ngajarin supaya jadi strory teller kamu Mon. Ehya, definisi langitnya juga dari kamu tuh.. Minjem yak 😀

      Umm.. kalo aku lihat mah udah bener kok, langit yang diceritain itu si langit bukan si Langit *bingung-bingung deh*

      Foto langit nunggu dari kamu aja Mon.. oleh2 dari verifikasi selanjutnya yak 😉

  2. @Didot.. belum kepikiran sih. Cuma itu nama yang bagus kan ya?

    @Abang.. surely, u will become one of that lucky man 🙂

    @Eka.. tengkyu Eka. keep read my story ya 🙂

    @Diah.. abis cuci kaki nggak Di? hihii..

Leave a comment