Kebiasaan yang Biasa

Dari kejauhan aku memandang pria itu berdiri. Jarak kami dipisahkan oleh jalan raya berjalur empat. Sedikit dedaunan yang menjuntai dari pohon di tengah pembatas jalan menghalangi pandangan mata kami. Ketika pandangan mata kami berserobok, pria itu tersenyum. Dengan sendirinya, keningku berkerut. Senyum pria itu semakin mengembang, kali ini menunjukkan barisan gigi-giginya yang rapih. Melihat itu, sudut-sudut bibirku jadi tertarik ke atas. Tak berapa lama aku lambaikan tanganku bersemangat ke arahnya.

“Ngapain kamu?” tiba-tiba datang sesosok pria berdiri si sampingku.

“Oh, nggak.. dadah dadah aja..” ucapku sambil menoleh padanya. Kulayangkan sebaris senyum padanya.

“Emang siapa itu?”, Langit bertanya penasaran.

“Nggak tau. Aku nggak kenal” kataku cuek. Kali ini kugeser posisi tubuhku menghadap Langit.

“Heh? Trus kenapa kamu dadahin?” Langit bingung dengan penjelasanku.

“Lagian dia senyum-senyum ke arahku. Kupikir dia tahu aku, kudadahin ajah”

Langit menoleh ke arah pria di seberang jalan, aku mengikuti arah pandangan matanya. Pria di seberang tampak sekali kebingungan. Terlihat sekarang dahinya yang berkerut. Melihat pemandangan itu, kami berdua spontan tertawa.

“Kebiasaan kamu. Iseng..” tiba-tiba Langit menjitak lembut ke atas kepalaku.

Kalau yang melakukan itu orang lain, aku mungkin sudah marah-marah. Karena ini Langit, kubiarkan saja. Aku hanya membalasnya dengan tertawa ringan.

“Yuk ahh.. keburu siang,” Langit berbalik dan berjalan meninggalkanku.

Kali ini aku tak menyusulnya dengan tergopoh. Membiarkan dirinya ada di depan memimpin jalanku.

Langkah kaki kami mengarah pada sebuah taman kota. Bukan taman yang berisi banyak bunga, dengan dedaunan hijau di sana sini. Ini lebih tampak seperti memorial park.

“Langit.. aku mau foto bunga matahari itu..” teriakku spontan kala melihat ada sekumpulan bunga matahari di salah satu sudut taman.

“Iya boleh..”, jawab Langit sabar. Dia mengarahkan langkah kakinya ke sudut itu.

Seperti biasa, aku mengikutinya.

“Nih, kamu yang foto. Coba setting kameranya..”Langit menyerahkan kameranya padaku.

Ketika kamera sudah berpindah tangan, aku berusaha mengatur sesuai dengan ilmu fotografi yang pernah kupelajari. Tak berapa lama aku sudah mengambil foto dari sudut yang menarik menurutku. Selesai satu, aku melihat hasilnya di tampilan di LCD.

“Yahh.. blur..” teriakku. Langit hanya menoleh sekilas. Lalu membiarkanku mengatur ulang. Kuulangi pengambilan gambar. Setiap selesai satu gambar aku selalu melihat hasilnya. Namun hingga beberapa kali pengambilan, tetap saja teriakan.. “Ahh.. masih blur..” tidak bisa tergantikan.

“Yahh.. susah ahh..” akhirnya aku mulai menyerah, “nggak asik foto bunga” ucapku seenaknya.

Langit hanya tergelak melihatku. “Sini aku bantu setting..” Langit menawarkan.

Sesaat ketika aku akan menyerahkan kamera padanya, tiba-tiba ponsel Langit berbunyi. “Sebentar..” dia mengisyaratkan padaku untuk tetap memegang kamera. “Iya Halo Pak.. ”Saat mengatakan itu Langit menoleh, lalu Langit menunjuk ponselnya sambil menunjukkan mimik muka yang ingin mengatakan “si Bos”. Aku mengangguk mengerti.

Saat Langit sedang berbicara di telepon, beberapa kali aku mengambil foto sesukaku. Seketika ada objek yang menarik perhatianku. Kufokuskan pengambilan foto ke arah sana. Saat sedang asik memotret, Langit tiba-tiba  memanggil.

“Phy..”

“Yak..” aku menoleh ke arahnya.

“Maaf lama.” Permintaan maafnya aku balas dengan anggukan,”udah selesai foto bunga mataharinya?”

“Err..” mukaku tampak seperti seorang murid yang ketahuan belum buat PR.

“Hahaa..”Langit tertawa, sembari memasukkan ponsel ke saku celananya.”yuk, review yang ada dulu..”

“Yuk.. “ jawabku cepat. Sebenarnya bukan karena benar-benar ingin me-review, tapi aku mulai merasakan pegal di kakiku. “eh, di mana ya? Tempat duduk penuh semua,” kataku sambil memandang sekeliling.

Saat mengatakan itu, sekali lagi jitakan lembut mampir di kepalaku. “aduh” aku berkata refleks.

“Kebiasaan deh, langsung jawab gitu. Tuh, lihat di sana ada tempat yang kosong. Jangan asal bilang nggak ada” Langit menunjuk ke satu bangku kosong yang tadi sempat jadi objek fotoku.

“He eh.. iya..”

Lalu kami berjalan menuju bangku itu. Sesampainya di sana, kami duduk bersebelahan. Meletakkan tas bawaan kami di sisi bangku yang masih kosong. Langit mengambil kamera yang sedari tadi kupegang.

“Sinih aku lihat..” lalu Langit melihat-lihat gambar yang ada di LCD. Aku ikut memandang ke arah yang sama. Kulihat Langit sedang mengamati gambar bunga matahari.

“Eh, kenapa blur ya?” kataku tak sabar ingin tahu,”padahal aku pakai speed nya nggak rendah-rendah banget… satu per lima belas.”

“Kamu yakin ini nggak rendah? Satu per lima belas itu termasuk lambat. Kecuali kamu tahan freeze tangan. Tangan manusia itu bisa nggak shake di satu per delapan puluh ke atas..”

“Oooohhh gituu…” aku mengangguk angguk mengerti,”salah dong akuh..”

“Nggak apa, namanya juga belajar..” kata Langit sambil menoleh dan tersenyum ke arahku. “tapi tergantung di zoom berapa juga sih..” lalu langit menjelaskan mengenai speed, zoom, focal length dan rumus-rumus yang otakku sudah tak mampu menangkapnya. Aku sudah terbius karena senyumnya, belum lagi penjelasan Langit yang bersemangat membuatku terkesima. Aku berjanji dalam hati untuk mencari lagi di internet segala kata-kata yang Langit jelaskan. Jangan sampai di “kelas” selanjutnya Langit menyadari kalau aku tak menyimak apa yang dia sebutkan. Oh Tuhan, semoga aku masih mampu mengingatnya.

“… gitu Phy,” suara Langit tiba-tiba menyadarkanku. Supaya tidak terlihat aku kurang menyimak, aku cepat-cepat mengangguk. “coba kita lihat foto yang lain” Lalu Langit menggeser foto itu dengan foto selanjutnya.

Memandang foto itu, Langit mengerutkan keningnya. Tiba-tiba menoleh ke arah kiri atas. Lalu balik menoleh memandang LCD kamera. “ini di sini ya..?”

“Iya,”

“Hahaha.. ini fotonya lucu” kata Langit sambil memandangnya.

“Ya sayang, kamu ngomong apa?” tiba-tiba Langit mengubah suaranya menjadi mode Bapak-bapak bersuara sangat bariton. Aku tertawa mendengarnya. “Nggak apa sayang.. aku cuma mau memandang kamu saja lebih dekat” lalu diubah suaranya menjadi lebih halus, berusaha meniru suara khas wanita.

Aku tergelak mendengar monolog yang dilakukan oleh Langit. Tapi, aku juga tergelitik untuk ikut menyulih suara “aktor-aktor” yang ada di foto

“Ahh, dasar wanita genit. Bisa-bisanya merayu dia. Huh.. padahal kan dia nggak ada apa-apanya dibanding aku, ngapain sih pria itu mau-maunya sama dia” aku bersuara dengan intonasi wanita yang sedang iri melihat pemandangan romantis di sampingnya.

Cukup lama kami melakukan percakapan, sebagai pengganti tiga orang yang ada di dalam gambar. Seringkali percakapan kami tersendat karena kami tertawa terbahak-bahak mendengar ocehan kami sendiri. Sampai akhirnya, aku dan Langit sudah tak mampu meneruskan, karena perut kami sakit karena tertawa.

“Phy.. kita tuh ya..” kata Langit di sela-sela tawa yang hampir mereda, “seenaknya aja ngomongin orang begini..”

“Hehe.. iya nih.. tapi emang lucu kan..” kataku mengiyakan.

“Iya, tapi kebayang nggak apa yang benar-benar mereka rasakan di sini..” Langit mulai berkata sedikit lebih serius, “oke, anggaplah si pasangan ini memang sedang berbahagia, tapi coba lihat wanita ini” katanya sambil menunjuk wanita bertopi yang sedang memandangi kedua pasangan di sebelahnya.

“Ya..” kataku ikut semakin serius.

“… kalau misalnya dia sedang sedih bagaimana. Bukan wanita berhati iri seperti yang tadi kita pikirkan.”

“hmm..” aku tak tahu harus berkata apa.

“Gitu ya Phy.. kita itu sering memandang sesuatu sesuka kita saja. Seharusnya kita bisa lebih empati terhadap apa yang ada di sekitar kita. Membiasakan untuk menempatkan diri di posisi orang lain..”

“Umm.. okay, ini bukan tentang si kulit salak dan serangga kan?”

“Hehe.. bukan.. sedikiiiittt bedaaa…” Langit menekankan kata sedikit, seolah meyakinkan kalau itu benar-benar sedikit.

“Hahaha..”

“Nah,” Langit meneruskan,”seringkali kita mengejek orang-orang di sekitar kita. Lihat saja tayangan-tanyangan di televisi” Langit lalu menyebutkan satu contoh acara TV yang ditayangkan hampir setiap malam di salah satu TV swasta nasional, “kita disuguhkan dengan kisah seseorang  menyakiti orang lain, mengeluarkan sarkasme dan si korban diatur sedemikian rupa sehingga kita jadikan bahan tertawaan. Tayangan seperti itu ya nggak mendidik. Orang-orang yang menontonnya jadi terbiasa untuk menertawakan kesalahan, kesakitan… Pada kehidupan nyata, kurang lebih pasti akan terbawa…dan itu bukan contoh yang baik”

“Umm.. iya, tayangan TV baiknya memberikan humor cerdas, bukan humor yang membodohi..”kalimatku seolah mengamini perkataan Langit.

“Huahhaa.. ngomong apa sih aku ini..” Langit seakan menyadari kalau dia membahas ini terlalu dalam, “kayaknya gara-gara udah siang nih.. laper, jadinya ngelantur” Langit langsung memberesi barang-barangnya, dan beranjak berdiri. Menoleh sejenak ke arahku, “Yuk..” dan seperti biasa berjalan duluan di depanku.

***

* Picture taken by Mona Luthfina

9 thoughts on “Kebiasaan yang Biasa

  1. Restu: Jadi yang dadah dadah siapa? Kenapa selalu ada cerita di awal yang gak diceritain lagi? Bagus tapi, plokplok..

    Aku:
    1. Fotonya pecah..
    2. I wish Langit is the one..
    3. Bagus.. Bagus..

  2. @Zia.. kenalan donk sama Principilla,, ntar kamu di rayu deh..

    @Restu.. yaelah, namanya juga intro. ga mesti diceritain kan? lagian itu mas2 yang iseng, tapi bengong karna diisengin balik :d

    @Mona.. iyah, yg ngasih foto siapa ya *duduudu..* Umm, same wish here. tunggu aja, ending si cerita2 ini.. makasih monski ^^

Leave a reply to Diah Cancel reply